Jumat, 14 Agustus 2009

Islam Tak Bisa Jadi Kambing Hitam

SEBELUM terjadi serangan terhadap menara WTC pada 11 September 2001, Indonesia sudah diguncang oleh serangkaian aksi teror. Bebeberapa aksi teror yang signifikan adalah peledakan di Gedung Atrium Senen 1 Desember 1998, Plaza Hayam Wuruk 15 April 1999, Mesjid Istiqlal tahun 1999, Gereja (GKPI) Medan 28 Mei 2000, Gereja Katolik Medan 18 Mei 2000, serta peledakan di Rumah Kedubes Filipina 1 Agustus 2000.
Gedung Atrium Senen kembali jadi sasaran pada 1 Agustus 2001 dan 24 April 2001, kemudian beberapa Gereja di malam Natal tahun 2000 dan 2001, di Kuta Bali 12 Oktober 2002, peledakan di Menado November 2002, Mc Donald, Makassar 5 Desember 2002, Hotel JW Marriot, Jl Mega Kuningan 5 Agustus 2003, di depan Kedubes Australia, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta 9 September 2004 dan peledakan bom Bali II 1 Oktober 2005.
Terlihat sekali dari data di atas bahwa tidak bisa kasus-kasus seperti ini hanya Islam kambing hitamnya atau Islamlah yang menjadi faktor utama munculnya tindakan teror ini.
Kasus-kasus seperti ini harus diletakkan dalam konteks yang benar, baik dari perspektif doktriner, historis, kultural maupun ekonomi politik. Artinya, berbagai indikator itu harus dipertimbangkan. Setelah itu, barulah kita bisa melihat dimanakah “letak agama” dalam kasus-kasus terorisme.
Dengan cara demikian maka kita bisa menilai benarkah Islam sebagai agama harus yang bertanggungjawab sepenuhnya terkait kasus-kasus terorisme di seluruh dunia dewasa ini ?

BEBERAPA FAKTOR
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan jika ingin membicarakan faktor penyebab munculnya tindak teroris. Di antaranya, pertama, dimensi internasional. Para teroris memandang pihak Barat, terutama Amerika Serikat (AS) selalu berpihak kepada Israel dalam konflik Timur Tengah. Kemudian diperburuk oleh perang Afghanistan dan Irak.
Barat dan AS akan terus menjadi sasaran kelompok radikal kecuali jika mereka mengubah kebijakannya terhadap Timur Tengah. Selama penyelidikan diketahui bahwa salah satu motivasi teroris adalah untuk menentang ketidakadilan dan tekanan yang dilakukan Barat pimpinan AS.
Dimensi kedua, adalah masalah internal, Salah satu faktor penting yang mendorong terorisme adalah kesalahan penafsiran dan pemahaman ajaran agama Islam. Ideologi dan “mind-set” para teroris memandang, bahwa tindakan mereka dapat dibenarkan agama, oleh sebab itu resiko apapun akan mereka hadapi. Tindakan ini tidaklah mengenal batas negara. Ideologi dan “mind-set” kelompok radikal telah menjadi prinsip perjuangannya.
Perang melawan teror harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah kepada memenangkan pikiran dan hati mereka yang bersimpati atau mendukung gagasan para teroris.

POLITIK DAN
KESENJANGAN SOSIAL

Hal ini harus dilaksanakan secara serempak dengan memusatkan pada faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial-politik, karena itu tindak kekerasan dalam masyarakat bisa disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, karena persoalan politik. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa perusakan dan tindakan kekerasan karena persaingan politik maupun rekayasa yang bernuansa politis, sehingga membakar emosi masyarakat untuk saling berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Kedua, karena kekecewaan terhadap kesenjangan sosial yang tidak sejalan dengan harapannya, baik dalam masalah ekonomi, politik, hukum maupun budaya ditambah lagi pemahaman sepihak terhadap ajaran keagamaan yang mendorong bertindak dan berperilaku ekstrim tanpa mempertimbangkan maslahat dan madharatnya bagi kehidupan masyarakat yang sangat beragam dari segi suku, agama maupun golongan.
Faktor tersebut merupakan potensi yang bisa meledakkan emosi dan tindakan anarkis yang mengerikan padahal tidak ada kaitannya dengan masalah agama. Karena sedari awal harus bisa meminimalisasi bahkan mengeliminasi berbagai faktor munculnya tindak kekerasan tersebut.

ISLAM AGAMA JALAN TENGAH
(al Din al Tawassuthi)
Islam adalah agama yang selalu mengajarkan konsep keseimbangan atau jalan tengah dalam segala hal, baik dalam hal konsep, akidah perilaku, hubungan sesama manusia.
Konsep seperti ini dalam Al-Quran disebut dengan “jalan lurus” (sharat al-mustaqim). Bahkan pepatah Arab mengatakan : “Sebaik-baik perkara adalah tengah-tengah”.
Sikap tengah (moderat) merupakan salah satu ciri ajaran Islam yang tidak didapati dalam agama-agama sebelumnya. Allah berfirman :”Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (tengah-tengah) agar kamu menjadi saksi-saksi atas (perbuatan) manusia ……” (Al-Baqarah ayat 143)
Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa umat Islam yang mempunyai ciri moderat dan toleran akan menjadi saksi atas segenap umat manusia. Sikap moderat dan toleran ini pernah dipraktikan oleh muslim klasik (yang dimaksud dengan Islam klasik adalah era di mana pemikiran rasional yang amat dominan ketika itu).
Mereka amat terbuka terhadap pemikiran dan budaya lain. Saya melihat ayat tersebut di atas sangat terkait dengan penanganan terhadap gejala radikalisme saat ini.
Karenanya tidak berlebihan jika ingin mengurangi sikap radikalisme di Indonesia, semestinya mengambil langkah konkret dengan cara merevitalisasi Islam zaman klasik.
Karena model Islam yang seperti inilah cocok untuk konteks Indonesia yang heterogen. Tentu saja Islam klasik yang dimaksud di sini tidak dimaknai secara definitif, tapi lebih mengacu kepada sikap dan moralitas Islam yang dianut muslim klasik yang sangat toleran dan moderat dalam menghadapi fenomena keberagaman pemahaman dan keyakinan serta mampu mengakomodasi nilai-nilai klasik.