Minggu, 14 Juni 2009

Sesat di Rimba Ilmiah

Sebuah tulisan yang bernada ilmiah selalu mengundang decik kekaguman, untuk itu agar saya tidak kelihatan bodoh, dan karena saya bosan menulis yang ringan-ringan, tulisan ilmiah ini saya buat. Dan seperti mahasiswa Indonesia yang sedang menyusun skripsi, saya jelas banyak mengambil jalan pikir “orang-orang besar” atau “ahli dibidangnya” dan menulis cacatan kaki sana sini bawah disetiap halaman. Tulisan ini masih dalam rangka menemukan Tuhan dan arti Hidup. Harap pembaca sedikit merenung…. Ini adalah sebuah tulisan ilmiah…

Tracey Chaffen mengatakan dibukunya “modern cosmology” bahwa “life” dan “living being” adalah sebuah bentuk information code yang terjaga dalam seleksi alam, terperangkap dalam human brain and soul. Sedangkan Debra Ball dibukunya “definition of life” mengatakan bahwa asal usul mahluk hidup bukanlah dari carbon chemistry, tapi dari mettalic crystals.

Sebuah tulisan berbau ilmiah yg kental bukan? Ok, saya teruskan…. Sylvester Middlebrook dalam pencariannya terhadap arti “hidup” punya pandangan lain, dalam bukunya “God and Resurrection of Dead” dia mangatakan bahwa Tuhan sebenarnya adalah sebuah maha komputer buatan manusia yang terprogram untuk mencreate semua hal. Komputer ini buatan future humanbeing yang sanggup menciptakan partikel kecil seperti elektron dan atom sampai matahari dan universe. Dan juga kehidupan.

Lorrey Winter lain lagi. Dibukunya “Is there God” dia berani berucap “Tuhan, setelah saya selidiki ternyata cuma adalah legenda purba yang turun temurun nyangkut diotak manusia”. Sehingga secara tidak sadar sebenarnya Tuhan adalah made in humanbeing. Hidup seperti juga Tuhan, sebenarnya juga adalah persoalan sensory. Sebuah naluri, sebuah instink yang tidak berwujud. Sehingga hidup seperti juga Tuhan, absurd….

Booker Fosset dibukunya “Final State” mengatakan Agama adalah sebuah alat berlindung, sebuah safe heaven bagi jiwa-jiwa gelisah yang tidak mengerti Tuhan dan kehidupan. Dan karena kematian itu sendiri tidak pernah dimenegerti manusia, kehidupan sebagai antithesist dari kematian, sama-sama hilang artinya.

Hassanah Abdullah, seorang pemikir besar keturunan Mesir malah secara lantang mengatakan bahwa “ada kekeliruan pemahaman tentang hidup” dalam masyarakat beragama. Menjauhi hedonisme untuk masuk surga, kata dia justru menandakan bahwa manusia beragama adalah hedonis tulen yang selalu mencita citakan hidup senang nanti setelah kematian. Di buku pemikir edan ini “If there was proof” secara gamblang dia malah menekankan surga itu ada dibumi sekarang ini, bukan di akhirat atau dimensi lain. “Modern hedonistic” adalah surga yang terbaik, begitu menurutnya.

Kawan yang baik, apakah anda sudah mengerutkan dahi dan berpikir tentang tulisan saya ini? Apakah saya terdengar begitu ilmiah dan berwawasan luas? Apakah saya nampak intelek dan banyak membaca buku?

Baiklah, saya akan berterus terang.
Bila anda sediki terpengaruh dengan tulisan saya diatas, bila anda begitu kagum pada nama pemikir dan scientist diatas, Anda akan lebih kagum lagi setelah membaca catatan kaki saya dibawah tentang para ilmuwan brilyan tersebut.

Catatan kaki:
Tulisan saya adalah fiktif, semua pemikiran diatas saya tulis dalam 10 menit ketika menulis. Dan nama-nama diatas bukanlah nama pemikir atau ilmuwan. 5 nama pertama saya dapatkan dari daftar pasien ER Methodist Hospital di Memphis, Tennesse tanggal 22 December 1997, yang saya dapatkan ditempat kerja. Dan nama terakhir adalah bekas roomate saya orang Palembang yang kerja menjadi kuli konstruksi.

Agar lengkapnya saya perkenalkan:
Tracey Chaffen.
Waiter 26 tahun, masuk ER karena tangannya tertumpah air panas.
Debra Ball.
Student, tampon stuck in Vagina.
Sylvester Middlebrook.
Pengangguran with broken testicles.
Lorry Winter.
English teacher with Blurred Vision and discomfort mental status.
Dean Winters
Dishwasher yang perutnya tergigit laba-laba.

Dan perkenalkan Abdullah, seorang Pelembang yang lebih pelit dari kombinasi Padang dan Yahudi. Dia sekarang tinggal di Los Angeles.

Apakah gunanya saya menulis tulisan ini?
Ini adalah sebuah kritik untuk anda penggemar tulisan yg sok keilmiah ilmiahan. Dan krtitik untuk mahasiswa yang dalam setiap skripsi selalu mencantumkan penuh pemikiran-pemikiran ilmuwan besar, scientis terkenal, filsuf ternama. Begitu sampai halaman terakhir, kesimpulan pemikirannya sendiri ternyata tidak ada alias nol…

Seperti juga penulis aktif dimilis ini yang “mencoba memahami Gus Dur” sampai berjilid jilid dan seri, anda yang kritis pasti akan bertanya kalau mencoba paham kenapa sampai menulis seperti cerita bersambung seperti itu? Bukannya itu justru menunjukan kebingungan? Dan siapa sih Gus Dur itu sampai mesti dipahami seperti seorang filsuf terkenal?(*)

Kritis itu penting. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar